Iknnews.co, Surabaya – Polemik mengenai rencana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat dan memicu pro-kontra di tengah masyarakat. Menanggapi hal tersebut, BEM Nusantara Jawa Timur (Jatim) menyerukan agar publik tidak terjebak dalam narasi hitam-putih dan tidak bersikap berlebihan dalam menolak. Bahkan lebih keras dibandingkan keluarga Bung Karno sendiri.
Koordinator Daerah BEM Nusantara Jatim, Helvin Rosiyanda Putra, menegaskan bahwa sejarah harus dilihat secara utuh, tidak semata dari sisi kelamnya saja. Menurutnya, terlalu larut dalam penolakan yang ideologis justru mempersempit ruang dialog kebangsaan yang sehat.
“Tak ada tokoh sejarah yang sempurna, baik Bung Karno maupun Soeharto. Yang perlu kita hindari adalah sikap berlebihan, seolah lebih Soekarno dari Soekarno itu sendiri. Padahal pihak keluarga besar Bung Karno sendiri, seperti Megawati dan Puan, terbukti bisa bersikap dewasa dan berdamai dengan masa lalu,” ujarnya, Jumat (6/6/2025).
Ia mencontohkan, hubungan harmonis antara Presiden Prabowo Subianto dan menantu Soeharto dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, serta kedekatan Puan Maharani dengan Titiek Soeharto, merupakan cerminan bahwa persatuan bisa dibangun di atas rekonsiliasi, bukan dendam sejarah.
“Bahkan mereka bisa duduk bersama. Menyanyi bareng, saling menghargai. Kenapa justru kita yang di luar merasa lebih ideologis dan menolak mentah-mentah? Sikap seperti ini kontraproduktif dengan semangat bangsa yang mau maju,” tegasnya.
Pun dirinya menekankan, penganugerahan gelar pahlawan tidak otomatis menghapus kesalahan atau kontroversi yang pernah ada, melainkan bentuk pengakuan atas kontribusi besar terhadap negara. Dalam hal ini, Soeharto dinilai berjasa dalam aspek pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan swasembada pangan di masa Orde Baru.
“Jutaan rakyat Indonesia merasakan dampak pembangunan yang dilakukan. Tentu itu tidak bisa dihapus begitu saja dari lembaran sejarah,” ujarnya.
Selain itu, aktivis GMNI ini juga mengingatkan generasi muda agar tidak menjadi korban polarisasi masa lalu. Ia mengajak semua pihak untuk rasional dalam menyikapi sejarah dan menjadikan perbedaan pandangan sebagai kekayaan demokrasi, bukan pemicu perpecahan.
“Bangsa ini tidak bisa terus-menerus hidup dalam trauma sejarah. Mari kita berdamai, bersikap dewasa, dan membangun ruang diskursus yang sehat demi masa depan Indonesia,” tandasnya.
Redaksi
![]()










