Iknnews.co, Jakarta – Di balik gembar-gembor pembangunan berkelanjutan dan transisi energi hijau, Kalimantan justru terus menjadi korban dari kebijakan yang dibalut narasi kebajikan. Pulau yang selama ini menyokong ekonomi nasional melalui tambang dan sumber daya alamnya kini menghadapi krisis lingkungan yang nyaris luput dari perhatian.
Alih-alih dilindungi, Kalimantan justru dijadikan ladang eksploitasi. Hutan digunduli, sungai tercemar, dan masyarakat adat terus kehilangan ruang hidup. Atas nama pembangunan dan investasi, kerusakan demi kerusakan dilegalkan. Kalimantan menjadi korban dari ‘kemajuan’ yang tak benar-benar adil dan berkelanjutan.
Yayasan Auriga Nusantara mencatat, sepanjang tahun 2024 Kalimantan kehilangan hutan seluas 124.896 hektare. Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan angka deforestasi tertinggi yaitu 44.483 hektare, disusul Kalimantan Barat 39.598 hektare, Kalimantan Tengah 33.389 hektare, dan Kalimantan Utara 8.767 hektare. Ironisnya, angka ini melonjak justru saat narasi pembangunan hijau semakin sering didengungkan pemerintah.
“Ini bukan sekadar kerusakan alam, ini bentuk pengkhianatan terhadap janji perlindungan lingkungan,” tuturnya, Koordinator Pusat BEM Se-Kalimantan, Minggu (7/6/2025).
Ia mengkritik keras sikap pemerintah pusat dan daerah yang menurutnya terlalu memanjakan kepentingan ekonomi, namun abai terhadap nasib ekosistem dan komunitas lokal.
Pun ia menyebut, respon negara baru muncul ketika sorotan publik internasional mengarah, seperti yang terjadi di Raja Ampat.
“Tapi Kalimantan? Seolah bisa dibakar diam-diam tanpa suara,” tegasnya.
BEM Se-Kalimantan menuntut pemerintah untuk segera memberlakukan moratorium izin tambang baru, melakukan audit lingkungan terhadap izin-izin yang sudah terbit, dan menindak tegas perusahaan yang mencemari alam. Selain itu, mereka meminta pemulihan hak-hak masyarakat adat dan jaminan partisipasi warga dalam proses perencanaan pembangunan.
“Kalimantan bukan tanah kosong. Ia adalah rumah bagi jutaan makhluk hidup, termasuk kami yang lahir dan besar di sini. Jika negara terus tutup mata, maka bukan hanya alam yang mati, tapi juga keadilan sosial,” pungkasnya.
Sudah waktunya pemerintah berhenti berpihak pada investor perusak. Kalimantan bukan lagi penonton. Ia adalah bukti nyata bahwa kebajikan tanpa keadilan hanyalah kedok yang menyakitkan.
Redaksi
![]()










